Halaman

Kamis, 11 Juni 2020

Bermula dari 20 Eksemplar (Pengalaman Menerbitkan Buku)

Sebelum rampung membuat buku "Lelaki di Ladang Tebu", saya sudah sibuk mencari informasi tentang penerbit indie. Maklum, ini adalah buku tunggal pertama saya berupa kumpulan cerpen bertema pendidikan.

Januari 2020, malu-malu kucing, saya memberanikan diri bertanya ke Bu Khususiatul. Beliau adalah salah satu guru inspiratif dari SMPN 3 Pagaden Subang yang telah menerbitkan 5 buku tunggal. Alhamdulillah, dengan ramahnya beliau mau menjelaskan kepada saya seluk beluk penerbitan.

Yang saya tahu, menerbitkan buku sendiri di penerbit indie tentu butuh modal yang besar. Beda halnya jika naskah buku kita layangkan ke penerbit mayor. Kalau diterima, buku kita bisa dicetak tanpa harus banyak mengeluarkan modal uang.

Nah, dari penjelasan Bu Susi (panggilan akrab Bu Khususiatul), saya akhirnya tahu dalam penerbitan ada yang namanya biaya pracetak dan biaya cetak.

Biaya pracetak tuh biaya yang dibutuhkan sebelum naskah siap cetak. Misalnya untuk editor, layout, cover dan mengurus ISBN.

Sementara biaya cetak, ya tergantung jenis kertas, jumlah halaman, berwarna atau nggak, hard cover atau soft. Gitu.

Beberapa penerbit indie biasanya sudah menggabungkan biaya pracetak dan cetak. Jadi, kita tinggal terima beres. Kirim naskah terus nunggu deh bukunya sampe ke kita.

Mau cetak berapa?
Singkat cerita, naskah saya sudah rampung. Penerbit sudah saya pilih. Tapi masih bingung juga. Mau cetak berapa?

Untuk syarat anugerah 100 Guru Penulis Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat (KPPJB), saya harus menyerahkan dua buku. Setelah itu untuk saya sendiri mesti ada dong! Kemudian untuk mereka yang teristimewa, orang tua, sahabat, dan pemberi testimoni di buku tentunya.

Baiklah. 10 saja cukup sepertinya. Tapi ... saya masih mikir (haha kebanyakan mikir). Barangkali nanti ada teman-teman yang mau beli buku saya? Lebihin dikit ga papa kali ya.

Well, akhirnya angka 20 eksemplar saya pilih. Ada yang minat beli alhamdulillah, kalau pun tidak ya tidak apa-apa. Kan bisa dihibahkan, toh?

Doa Best Seller
Ketika posting di medsos, sebagai pengingat diri bahwa saya pernah menulis buku. Ternyata banyak yang komen dan mendoakan. Bahkan sampai ada yang bilang semoga jadi best seller.

Saat itu hendak saya jawab, "Hee, cuma dicetak 20 kok". Tapi, saya mikir lagi (tuh kan mikir mulu). Bukankah ucapan itu doa? Dan kita tidak akan pernah tau doa siapa yang akan diijabah?

Maka saya ubah jawaban saya kala itu menjadi "aamiin". Ya, saya aminkan saja doanya semoga jadi buku best seller.

Saya bersyukur karena saat itu telah mengaminkan doa dari adik kelas saya sewaktu SMP tersebut. Karena kini, (buku) Lelaki di Ladang Tebu telah berkelana ke Jawa Tengah, Yogyakarta, Subang, Legonkulon, Cisalak, Purwakarta, Bekasi, Karawang, Depok, Cirebon, Garut, Cimahi, bahkan Kalimantan Barat dan Sumatera Utara.

Semula 20, dalam dua bulan alhamdulillah sudah 55 buku tersebar. Dan kini, saya sedang menunggu pengiriman cetakan selanjutnya. Alhamdulillah.

Bagi sebagian orang, angka 55 mungkin masih kecil. Tapi bagi saya, hal tersebut sangat membahagiakan. Terlebih, karena mereka yang telah membeli buku saya, adalah orang-orang yang saya tahu, juga peduli dan mencintai pendidikan.

Terima kasih,
Insya Allah menuju best seller 😊
Aamiin

🌸🌸🌸

Silakan berkunjung ke Instagram saya @dittawidyautami untuk mengetahui berbagai testimoni tentang buku Lelaki di Ladang Tebu.

Informasi dan pemesanan :
WA 085659083111 (Ditta)

5 komentar:

  1. Mantap Neng Ditta, maju terus moga buku2nya menjadi best seller...eh temen yg udh berkelana dalam rangka tugas ato karena jadi penulis juga? He he maaf kepo,penisirinπŸ™‚πŸ™

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Buku Lelaki di Ladang Tebu maksudnya yang sudah berkelana ke beberapa daerah Bu πŸ˜ŠπŸ™πŸ» alhamdulillah ada yang pesan dari berbagai kota dan daerah.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Best seller yukk semangatt yakin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin terima kasih Bu πŸ˜ŠπŸ™πŸ»

      Hapus