Halaman

Jumat, 12 Maret 2021

Meniti Asa : Kisah Awal Menjadi Guru

Pertengahan November 2020, saya masuk grup WhatsApp KAMG (Kisah Awal Menjadi Guru) di bawah payung KPPJB (Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat).

Saat masuk, ternyata sudah puluhan orang mengumpulkan karya untuk dibukukan. Saya yang saat itu sedang menuju detik-detik ujian PPG Dalam Jabatan (Daljab) menjadi galau. Saya bahkan sempat ragu apakah bisa menorehkan karya sesuai tema.

Tapi, sebagaimana yang saya yakini bahwa setiap tulisan mengandung arti. Ketika memutuskan menulis buku pun, pasti untuk mengabadikan sesuatu yang berarti.

Guru bukanlah cita-cita awal saya. Namun, berkat doa yang terserak, saya menjadi guru. Oleh karena itu, saya pun ingin ikut mengabadikan kisah awal menjadi guru saya ke dalam antologi ini.

Alhamdulillah saya bisa ikut menulis. 103 penulis ikut menyumbang karya. Inilah buku antologi dengan peserta terbanyak yang pernah saya ikuti.


Karya kami bahkan harus dipecah menjadi 3 buah judul buku. Saat membaca biodata para penulis, wahh ... saya merasa seolah kembali menjadi bayi yang baru bisa merangkak!

Bagaimana tidak? Ternyata yang ikut adalah guru-guru dengan segudaaaang prestasi. Ada yang sastrawan sekaligus budayawan yang juga seorang guru dan dosen. Ada yang merupakan instruktur nasional. Ada yang merupakan koordinator gerakan literasi tingkat kabupaten. Ada yang pernah menjadi juara berbagai lomba menulis. Ada yang mendapat Satya Lencana dari presiden. 

Tak hanya itu, rata-rata peserta telah membuahkan belasan bahkan puluhan karya berupa buku. Beberapa bahkan ada yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah atau masuk pengurus dalam berbagai komunitas. Sungguh, saya menjadi iri. Ingin rasanya segera berlari mengejar prestasi mereka yang luar biasa!

Kisah Awal Menjadi Guru

Nah, sahabat Ruang Inspirasi, berikut adalah cuplikan kisah awal menjadi guru yang saya alami :

Saat kecil, karena suka sekali dengan kucing (hingga sekarang pun masih senang kucing) saya pernah bercita-cita menjadi dokter hewan.

Saat masuk SMP (sekitar tahun 2002/2003), karena membaca buku "Born to be a Genius", saya tertarik menjadi seorang psikolog.

Sayang, usai menamatkan SMA, saya tidak bisa memilih jurusan yang saya minati tersebut. Orang tua saya menginginkan saya sekolah di jurusan keguruan.

Berbekal kemampuan bahasa Inggris yang cukup semenjak SMP, membuat saya terpilih masuk kelas internasional di Jurusan Pendidikan Kimia UPI. 

Hal tersebut membuat saya harus melaksanakan praktik pengalaman lapangan (PPL) di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (saat itu RSBI belum dihapus).

Itulah kali pertama saya mengajar real di sekolah. Benar-benar belajar bagaimana menghadapi siswa dengan segala keunikannya. Bagaimana agar bisa memuaskan hasrat belajar peserta didik yang tinggi, dsb.

Cuplikan tulisan saya di buku Meniti Asa, Kumpulan Kisah Awal Menjadi Guru


Lulus kuliah saya bahkan mendapat tawaran mengajar di sebuah boarding school yang isinya anak-anak dari kelas ekonomi menengah ke atas.

Saya masih ingat ada murid SMP tersebut yang bahkan diiming-imingi mendapat "mobil baru" asalkan betah di pesantren. Mobil loh ya, bukan mobil-mobilan.

Di waktu lain saat sesi curhat di luar jam sekolah, seorang anak bahkan mengatakan pernah menghabiskan uang tabungan hingga 10 juta rupiah. Uang tersebut digunakan untuk memodifikasi mobilnya sendiri. Hmm ... hmm ....

Benar adanya pengalaman adalah guru terbaik. Maka, dari berbagai pengalaman saya menjadi guru, saya akhirnya sadar. Sadar bahwa saya masih bisa mewujudkan cita-cita saya menjadi seorang psikolog. 

Mengapa tidak menjadi guru sekaligus psikolog bagi peserta didik kita? Ya, meski psikolog gadungan tentunya karena tidak berbasis ilmu kecuali dari bahan bacaan saja.

Paling tidak, sebagai guru kita bisa memberi motivasi atau dukungan kepada peserta didik kita yang memiliki masalah dalam hidupnya. Sebagaimana yang pernah saya tuangkan dalam buku solo pertama berjudul "Lelaki di Ladang Tebu". 

Setiap anak, memiliki masalahnya tersendiri. Kitalah (guru, keluarga atau sahabat) yang harus peka terhadap mereka. Karena terkadang, di balik tawa mereka ada tangis yang tak terlihat. Atau di balik tangis mereka, justru ada senyum dan tawa.

Pada akhirnya, saya bersyukur Allah telah menunjukkan jalan menjadi seorang guru. Terima kasih kepada teman-teman dan para guru yang bahkan saat saya masih duduk di bangku sekolah sering berkata "Ditta sudah cocok jadi guru".

Rupanya berkat doa yang terserak itulah Allah perkenankan diri ini menjadi seorang guru. Semoga kita (jika Anda pun seorang pendidik), bisa menjadi guru yang senantiasa menyayangi murid dan menjadi inspirasi.

Semoga bermanfaat 😊🙏🏻


2 komentar: