Halaman

Selasa, 16 Februari 2021

Menulis untuk Peradaban

Menulis telah menjadi salah satu aktivitas manusia sejak berabad-abad silam. Bahkan ribuan tahun lalu. Seperti yang diberitakan harian Kompas.com berjudul "Sejak Kapan Menulis Dilakukan", diyakini bahwa tulisan tertua berusia sekitar 35.000 tahun sebelum masehi.

Lukisan di dinding gua (sumber foto : bobo.grid.id)

Tulisan kala itu masih sederhana. Berupa gambar yang menceritakan kehidupan sehari-hari manusia periode Cro-Magnon (sekitar 50.000-30.000 SM). Dari beberapa gambar yang dilukiskan di gua tersebut, muncul berbagai kisah.

Lain lagi dengan Bangsa Sumeria (3.500-3.000 SM). Mereka menggunakan tulisan untuk tujuan perdagangan. Bentuk tulisan paling awal adalah pictographs atau piktograf (simbol yang mewakili obyek). Berfungsi untuk membantu mengingat apa saja yang dibeli dan apa yang telah dikirim.

Mereka menulis di atas media tanah basah yang kemudian dikeringkan. Tulisan piktograf masih sederhana karena hanya catatan barang dan benda.

Dari piktogram, lahirlah fonogram yaitu simbol yang mewakili suara. Dengan fonogram, seseorang dapat dengan mudah menyampaikan makna yang tepat. Misalnya dua domba dari toko dalam keadaan hidup.

Pada saat itu alfabet yang dikenal adalah abjad Fenisia. Seiring berjalannya waktu, abjad tersebut telah berkembang dan mengalami evolusi sehingga memunculkan berbagai macam bahasa.

Bahan-bahan untuk menulis juga berkembang. Dari tanah liat dan buluh bambu yang runcing, kemudian muncul pena dan kertas di Mesir, perkamen Yunani dan Romawi.

Menulis untuk kepentingan ummat

Sejak Al-Qur'an diturunkan, para sahabat lebih senang menghafal daripada menuliskannya pada pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Selain karena terbatasnya kemampuan baca tulis, di zaman Rasulullah saw para sahabat memang memiliki daya ingat yang sangat kuat.

Naskah Alquran tertua di dunia disimpan di University of Birmingham, Inggris. (Sumber: Wikipedia common)

Bertambahnya jumlah penghafal Qur'an yang gugur, membuat sahabat Umar r.a. mengusulkan kepada Abu Bakr r.a. untuk menghimpun Al-Qur'an. Meski sempat menolak, pada akhirnya Abu Bakr memerintahkan Zaid Ibn Tsabit untuk mengumpulkan naskah Al-Qur'an yang masih terserak hingga menjadi sebuah mushaf.

Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga wafat. Kemudian dipegang oleh Umar hingga wafat. Lalu dipegang oleh Hafsah Binti Umar.

Pada zaman kepemimpinan Utsman r.a, terjadi perbedaan pendapat antarkaum muslimin. Mereka berbeda pendapat terkait dialek pembacaan Al-Qur'an. Oleh karena itu, Utsman mengutus beberapa sahabat untuk menuliskan kembali mushaf Al-Qur'an dan memperbanyaknya.

Tulisannya para cendikiawan

Para filsuf, ilmuwan, cendekiawan termasuk golongan manusia yang sering menuangkan gagasan atau pemikirannya dalam bentuk tulisan. Mereka telah mengikat ilmu dengan menulis.

Meski mereka telah mati, namun tulisan mereka tetap abadi. Menjadi dasar untuk perkembangan ilmu pengetahuan maupun sastra.

Plato dan Aristoteles. Ibnu Sina dan Al-Khawarizmi. Einstein dan Newton. Mereka hanya segelintir contoh dari sekian banyak ilmuwan yang telah menghasilkan karya. Lihatlah bahkan karya mereka telah jauh melintasi generasi. Mereka tetap hidup melalui tulisan-tulisannya.

Belajar dari sejarah serta dengan berbagai kemudahan untuk menulis di masa kini, seharusnya mampu menyadarkan kita akan arti penting dari sebuah tulisan. Menampar kesadaran kita untuk terus berkarya melalui ragam tulisan.

Tak hanya untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan serta budaya. Sejak awal, menulis telah berfungsi untuk melestarikan pengalaman untuk generasi mendatang. Ya, menulis untuk peradaban.

Maka, menulislah!


Semoga bermanfaat,

Salam Literasi.


(Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog PGRI bulan Februari 2021)

Ditta Widya Utami, S.Pd.

NPA. 10162000676




Tidak ada komentar:

Posting Komentar