Halaman

Selasa, 23 Februari 2021

Belajar Membaca dan Menulis dari Cendekiawan Terdahulu

Sejak ditetapkan kebijakan bekerja dari rumah, banyak yang mulai mengisi hari-harinya dengan merawat tanaman. Tanaman keladi yang di daerah saya bisa tumbuh liar di kebun karet bahkan sempat menjadi primadona. 

Keladi-keladi liar yang tumbuh di kebun karet samping sekolah pun secara drastis berkurang jumlahnya. Bukan karena mati, tapi karena diambil untuk koleksi pribadi atau dijual demi pundi-pundi rupiah.

Hehe ... Tenang, saya tidak akan membahas tentang bercocok tanam. Tapi, pernahkah Anda mendengar kata Papyrus? Tanaman yang kini bisa menghiasi halaman rumah ini, berasal dari Afrika dan biasanya tumbuh di rawa berair dangkal. Tahukah Anda, bahwa si alang-alang air ini merupakan salah satu bahan tertua untuk membuat kertas.

Dilansir dari Wikipedia, sekitar 3000-2000 tahun sebelum Masehi bangsa Mesir telah memanfaatkan papirus untuk membuat kertas. Dari sini kemudian berkembang berbagai jenis kertas dan tentu saja, buku.

Berbicara masalah buku, kita tentu tak akan lepas dari kata membaca dan menulis. Buku ada karena ada yang menulis dan buku ditulis untuk dibaca.

Benar kiranya pernyataan Pak Thamrin Dahlan bahwa buku adalah mahkotanya seorang penulis. Tengok saja para ilmuwan, cendekiawan maupun ulama terdahulu. Tak hanya gila baca, mereka bahkan berlomba menghasilkan karya berupa buku. 

Imam Nawawi dalam sehari mampu membaca 12 buku pelajaran di hadapan guru-gurunya. Ibnu Jauzi telah membaca 20.000 jilid buku selama menuntut ilmu. Abu Bakar Al-Anbari membaca 100.000 lembar halaman buku setiap minggu. Bahkan salah satu founding father kita, Bung Hatta, bisa menghabiskan 6-8 jam per hari untuk membaca disaat ia dipenjara.

"Dengan buku, kau boleh memenjarakanku di mana saja. Karena dengan buku, aku bebas!" Begitulah kalimat yang diutarakan wakil presiden RI pertama tersebut.

16 peti buku. Itu adalah jumlah yang dibawa Bung Hatta saat diasingkan ke Banda Neira, lalu ke Boven Digoel. Nah, bagaimana dengan kita? Berapa banyak buku yang kita bawa saat bepergian?

Sahib Ibnu Abbad (hidup 938-995 M), seorang sarjana Persia dan negarawan pernah menolak menjadi perdana menteri Samarkand. Tahukah Anda apa alasannya? Karena dibutuhkan sekitar 400 ekor unta untuk memindahkan semua buku-bukunya!

Kemarin, saya membaca sebuah tulisan yang menarik dari Dr. Ngainun Naim, seorang dosen yang rajin menulis di blognya spirit-literasi.blogspot.com. Dari tulisannya yang berjudul "Buku, Membaca, Memiliki dan Menulis", beliau menyampaikan 4 golongan orang dan buku, yaitu :

  1. Gila beli buku tapi gak suka baca.
  2. Suka baca tapi nggak bisa beli buku.
  3. Suka baca plus mencatat bacaan.
  4. Rajin baca tak rajin mencatat.

Semoga, kita tidak termasuk kolektor buku saja ya. Membeli dan memiliki banyak buku, tapi tak pernah membacanya. 

Selain membaca, kegiatan lain yang tak kalah penting adalah menulis. Semasa hidupnya, Bung Hatta telah menghasilkan lebih dari 800 karya tulis dalam bahasa Indonesia, Belanda, maupun Inggris. 

500-1.000 tahun lalu, para ulama sering berlomba-lomba untuk melahirkan buku. Mereka saling bersilaturahim dan sering berdiskusi soal agama. Hasilnya mereka tuangkan dalam bentuk tulisan. Melalui tulisan, para ulama juga mewariskan ilmu kepada murid-muridnya. 

Ada yang mengembara untuk menulis buku. Ada juga yang tenggelam dalam lautan kitab untuk menulis. Imam Hasyim ketika menulis buku masih merujuk ke kitab-kitab manuskrip. Kitab yang ditulis tangan. Wah, tentu membacanya lebih berat daripada membaca buku cetak biasa.

Tak percaya? Cobalah baca manuskrip berikut :

Kertas usang, beberapa bagian yang sudah sobek atau berlubang, tentu menjadi tantangan tersendiri saat membaca sebuah manuskrip. 

Tapi toh, hal tersebut tak menyurutkan semangat para ilmuwan dan ulama terdahulu untuk tetap belajar dan menulis. Itulah bukti kesungguhan mereka untuk menebar ilmu melalui tulisan.

Setelah mengetahui kebiasaan para cendikiawan terdahulu dalam membaca dan menulis, maka mari tanyakan pada diri kita. Sudahkah kita membaca hari ini? Sudahkah saya menulis hari ini?

Semoga bermanfaat ...

"Fāqidu asy-Syai` lā yu’thīhi” (orang yang tidak punya sesuatu, maka tak mungkin bisa memberi orang lain sesuatu) - ungkapan Arab





Ditta Widya Utami, S.Pd.

NPA. 10162000676

1 komentar: