Kita patut bersyukur, dengan kemajuan teknologi ini, membuat manusia di muka bumi jadi gemar menulis, termasuk di Indonesia, kini puisi digandrungi oleh berbagai kalangan, termasuk para guru dan siswa. Buku antologi puisi kian membanjir.
Berpuisi yang estetik, mernah dan benah menurut konvensi tertentu, yang dirumuskan oleh para pakarnya, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena itu, KPPJB persembahkan pelatihan ini, dengan menghadirkan para pemateri, dari kalangan praktisi yang sudah lama berkecimpung dalam bidang puisi, dengan harapan kita sebagai peserta, dapat menimba wawasan dan pengalaman yang telah menjadi best practise, bagi para pakarnya."
Demikian kalimat-kalimat pembuka yang disampaikan oleh Ketua KPPJB, Pak Prawiro Sudirjo.
Saya sebetulnya termasuk yang awam dalam dunia puisi. Saya juga mungkin akan berpikir lebih keras jika diminta untuk membuat sebuah puisi daripada membuat cerpen. 😄
Setiap kata dalam barisan puisi mengandung makna yang dalam. Menyingkap ruang tak terbatas. Unik, indah dan seolah memiliki jiwa.
Oleh karena itu, saya yang terbiasa dengan kalimat-kalimat sederhana, bisa dikatakan "nekat" ikut kelas puisi ini. 😄
Tapi, setiap kita harus senantiasa meng-upgrade diri, bukan? Maka, ketika melihat flyer kelas menulis puisi kontradiktif seperti berikut, saya langsung daftar agar bisa ikut belajar.
Tujuan Menulis Puisi
Menurut Pak Zulfaisal Putera, salah satu dosen tamu yang akan memberikan materi, ada dua tujuan orang menulis puisi :
1. Puisi untuk dinikmati sendiri dan tidak dipublikasi.
2. Puisi untuk dinikmati sendiri sekaligus untuk dipublikasi. Bahkan, ada juga yang ketiga, tetapi tidak banyak, puisi juga untuk diiikut sertakan pada sebuah lomba.
Maka biasanya penulis puisi akan memperlakukan puisinya secara khusus. Penulis puisi yang menulis hanya untuk dinikmati sendiri, biasanya tak punya beban apa-apa selain mengaktualisasikan pikiran dan perasaannya melalui larik larik puisinya.
Namun, ketika puisi itu juga akan dihadirkan ke publik, maka penulis puisi memiliki beban tambahan, yaitu mengelaborasi kembali puisinya dengan diksi diksi yang terpilih, rima, gaya bahasa (biasanya khas si penyair) untuk menggiring imajinasi pembaca dalam bingkai pemikiran penulis.
Puisi menjadi estetis sebenarnya karena ia berjiwa. Puisi yang tidak berjiwa, ketika dibaca akan terasa kering meski diolah dengan versifikasi ( keterampilan mengotak-atik bahasa) yang tinggi.
Menulis puisi bukanlah sekedar sekedar keterampilan mengotak-atik bahasa. Puisi yang berjiwa lahir karena adanya pengalaman puitik.
Puisi dengan Diksi Sederhana Masih Mungkin Berjiwa
"Sebuah puisi dengan diksi sederhana memungkinkan puisi itu menjadi berjiwa?", tanya salah seorang peserta.
Ibu Nenden Lilis A., pemateri utama menjelaskan bahwa hal itu masih memungkinkan. Beliau mencontohkan puisi-puisi Pak Sapardi dimakan bahasanya banyak yang biasa, tapi tetap membuat orang klepek-klepek.
Yang membuatnya menjadi berjiwa itu karena isinya. Karena ia ditulis dari hati. Sederhannya begini, coba kita menulis puisi jatuh cinta buat orang yang tidak kita cinta, pasti jelek karena tidak dari hati.
Penutup
Seremonial online di Kelas Puisi Kontradiktif yang digagas oleh King Dody Ahmad Fauzi (DAF), ditutup dengan sebuah puisi berjudul "Episode" dan audio musikalisasi puisi "Mata Hitam" karya Rendra.
Saya senang berada di kelas ini. Pesertanya beragam. Mulai dari yang awam seperti saya, hingga yang expert seperti Bu Arum (Ketua Literasi Subang Bihari dan Berwibawa) serta Pak Iyus Yusandi dengan segudang karyanya. Pssttt bahkan dosen pun ada yang ikut kelas puisi kontradiktif ini loh!
Bismillah, semoga saya bisa belajar memberi jiwa pada puisi 😊
"Sebenarnya setiap orang, apalagi para guru, adalah penulis puisi. Hanya sekarang bagaimana puisi itu berjiwa, bukan hanya bagi penulis, tetapi juga bagi pembaca." (Zulfaisal Putera)
Makasih materi puisinya, kebetulan baru pingin nulis puisi.
BalasHapusBisa berteman di FB, dg nama Tunjung Ekaputra. Minta masukan utk puisi saya