Halaman

Senin, 17 Januari 2022

Masih Dipandang Sebelah Mata?

Oleh : Ditta Widya Utami

Dalam kehidupan sosial, kita tak akan pernah bisa mengatur orang lain. Menuntut mereka untuk sama dengan kita. No.

Setiap orang bebas menilai apa pun yang dilihat, dirasa maupun didengarnya.

Masalahnya, terkadang kita--kita? Mungkin saya saja--cukup "terganggu" dengan penilaian orang lain. Bahkan bisa jadi, penilaian-penilaian tersebut membuat kita putus asa bahkan terpuruk.

Baru juga belajar menulis. Sudah dapat komentar bahwa tulisannya tidak layak. Baru juga belajar menari, dapat komentar tak punya bakat. Langsung menutup diri.

Bak selebritis yang setiap langkahnya selalu jadi sorotan. Maka kita pun baiknya belajar bersikap. Memilah mana yang bisa kita jadikan sebagai bahan introspeksi dan mana yang bukan.

Memang tak bisa saya pungkiri. Saya pun pernah berjumpa dengan orang-orang yang senangnya "menguji atau mengkritik".

Ya. Mereka bertanya hanya untuk sekedar menguji. Apakah kompetensi yang kita miliki sesuai dengan idealisme mereka. Apakah kita layak dengan posisi kita saat ini, dsb.

Saya bahkan pernah menjadi orang yang senang mengkritik. Kritis ternyata tak selamanya baik. 

Kritis yang berbuah kritik sungguh menuntut sikap bijak untuk bersanding ketika menyampaikan buah kekritisan kita. Syukurlah kakak kelas saya saat kuliah telah menampar saya dengan kata-katanya.

"Kritis itu bagus. Tapi akan lebih baik lagi kalau bisa memberi solusi." Which is mean, kalo mau ngasih kritik, kasih sekalian ama solusinye. Jangan tong kosong nyaring bunyinye. Buktikan kita bisa membawa perubahan. 

Glek. Nelen ludah. Tapi hati membenarkan. Diri ini harus berbenah.

Kalimat bijak dari kakak kelas yang lain juga masih saya ingat. Ketika kami membahas berbagai kebijakan. Ia berkata,

Tak mudah menjadi seorang pemimpin. Kalau mau mengkritik kebijakan, coba deh jadi panitia kegiatan dulu. Setingkat kabupaten atau provinsi misalnya. Biar tau bagaimana rasanya mengatur "a little government".

Berhadapan dengan orang-orang yang senang menguji atau mengkritik mesti menyiapkan hati yang sangat lapang. Bila tidak, bahaya. Bisa-bisa malah stress atau depresi.

Big NO NO untuk baper. Ingat, kita bukan mereka. Mereka boleh saja memiliki idealisme masing-masing. Tapi kita dan mereka berbeda. 

Bukankah kembar identik pun masih saja bisa ditemui perbedaan? Apalagi antara aku dan kamu #eah.

Terkait orang yang sering memandang sebelah mata, saya jadi teringat pada status salah satu sahabat.

Pak D Susanto bila saya tak salah. Ia pernah menulis kurang lebih seperti ini :

"Mencoba untuk tidak merasa pintar. Karena bisa jadi lawan bicara kita sedang pura-pura bodoh."

Nah, loh.

Sobat, mendapat tekanan dari orang-orang yang sangsi pada kemampuan kita mungkin cukup meresahkan. Gelagat rasa kurang percaya diri bisa saja terlihat akibat aura yang penuh tekanan.

Hari ini saya juga mendengar kabar. Teman lulusan P3K mendapat tekanan dari teman-teman barunya yang belum lulus. Sangat disayangkan. 

Maka untuk menguatkan hati, mari belajar dari kisah Uwais al-Qarni atau Julaibib. Mereka adalah sahabat Rasul saw. yang tak dikenal di kalangan manusia bahkan dianggap tak ada.

Uwais al-Qarni. Siapa pula yang kenal dengan pemuda fakir asal Yaman ini? Namun sungguh, walau tak ada yang mengenalnya, Uwais sangat terkenal oleh "penduduk langit". 

Uwais terkenal oleh penduduk langit karena baktinya pada sang ibu dan cintanya pada sang Rasul. Menempuh jarak ratusan kilometer sambil menggendong ibunda agar bisa menunaikan haji.

Lihat pula bagaimana Rasul begitu memuliakan Julaibib. Ia hitam, pendek, bungkuk dan fakir. Namun, saat syahid di medan perang, Rasulullah sendiri yang mengafani beliau. Sang Kekasih bahkan turun langsung ke liang lahat Julaibib seraya berkata "Ya Allah, ia adalah bagian dari diriku dan aku bagian dari dirinya."*

Mengharap pada manusia hanya akan membuat sakit hati. Maka, mari sama-sama belajar menata kembali setiap kepingan hati. Mengubah haluan bukan untuk sekedar hal-hal yang bersifat duniawi.

Saya tak sempurna. Masih banyak kekurangan di sana sini. Masih belajar bersikap dalam menerima krisan (kritik dan saran). Oleh karena itu saya membuat tulisan ini. Lebih sebagai pengingat diri selain tentu saja untuk berbagi.

So, masih dipandang sebelah mata? Keep calm Sist ... Bro .... Cuz everything's gonna be ok. Just take a deep breath and ... smile.

SEMANGAT!!!

Semoga bermanfaat ....

*saya mengetahui kisah Julaibib dari Ust. Salim A. Fillah dalam salah satu postingan instagramnya.

32 komentar:

  1. Setuju Bu Dita ... Srmangat. Biarlah mereka berpendapat tentang kita, apapun itu yg jls tetaplah u bisa lkukan yang terbaik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sip. Tetap tergerak, bergerak dan menggerakkan ya Bu.

      Hapus
  2. Mengharap pada manusia hanya akan membuat sakit hati.

    Tulisan sarat nasihat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Pak D, kalimat Pak D dalam tulisan ini pun sarat nasihat.

      Hapus
  3. Mantaaaappppz bu ditta, tulisan yang inspiratif.

    BalasHapus
  4. Berasa kena comeback...
    Mengkritik harus bisa memberikan solusi, tajam.

    BalasHapus
  5. Betul terus semangat. Kritik bagian dari pembelajaran. Melihat secara seimbang agar tetap bisa berbenah tapi tetap semangat berjalan maju.

    BalasHapus
  6. Mantap Bu Ditta, setuju...jangan menyerah bila ada yg mengkritik kita, sebaliknya harus menjadi pemicu agar kita terus bergerak maju.

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. Tulisan yg bijak Neng Ditta. Memgkritik hrs bisa memberi solusi.Jangan gentar dipandang sebelah mata, jadikan pemicu semamgat kita. Hanya kpd Allah kita berharap dan bergantungπŸ™

    BalasHapus
    Balasan
    1. Allahu ash-shomad ya Bu ...
      Terima kasih mentorku ....

      Hapus
  9. Kalimat ini yang paling saya suka dari tulisan ibu yang kompensi menulisnya diatas rata2...:"So, masih dipandang sebelah mata? Keep calm Sist ... Bro .... Cuz everything gonna be ok. Just take a deep breath and ... smile.

    BalasHapus
  10. Uwais alqorni ragany tidak membumi tapi jiwanya melangit. Inspiratif banget bu, mantap

    BalasHapus
  11. Tulisan ini rasanya ditujukan kepadaku. Saking seringnya diri ini mersa tidak nyaman keika dikritik orang, mau marah dan sebagainya. Makasih, sudah menyadarkanku. Untuk apa mengharap pada orang , karena endingnya sakit hati. Mengharaplah pada dzat yang Maha Memberi, maka hajat diri akan terpenuhi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dahsyat ... Terima kasih Mr. Beje. Semoga kita termasuk orang-orang yang senang berharap hanya pada Dzat Yang Maha Memberi

      Hapus
  12. Tulisannya sangat motivatif......menggugah jiwa agar selalu kuat dan yakin akan kemampuan diri. Salam literasi Bu

    BalasHapus
  13. Dalam hidup pasti ada saja tukang kritik ya Bu. Biarkan saja. Tak usah didengar kalau membuat kita terpengaruh. Meskipun agak susah. Tapi harus dibiasakan. Biasa cuek sama pengkritik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Pak. Dalam kondisi ini mungkin kita memang harus memiliki seni bersikap 'bodo amat'. He.

      Menentukan mana kritik yang memang harus ditanggapi dan mana yang tidak. Terima kasih, Pak.

      Hapus
  14. Manusiawi bila dikritik ada rasa yang mengelitik di dalam hati. Namun kesadaran akan introspeksi diri akan mmebuka hati untuk kritikan orang lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Ambu ... Mindfulness. Fokus pada keadaan saat ini tanpa menghakimi.

      Hapus
  15. Masyaallah tulisannya sarat makna dan motivasi. Terinakasih bu Ditta cantik telah mengingatkan diri ini untuk menjadi orang bijak yg tak gampang mengkritik orang lain..kereeen....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah ... Terima kasih kembali Bunda πŸ™πŸ»

      Hapus