Misal, ketika sedang mengupload nilai rapot yang hanya bisa dilakukan di sekolah (karena harus tersambung ke server). Jika Fatih (anak saya yang baru memasuki usia 19 bulan) kemudian memanggil-manggil saya, saya kadang hanya menjawab “Iya .…”
Walau menjawab panggilannya, namun saya tidak langsung menghampiri Fatih karena masih harus mengklik ini itu di laptop. Bagi saya, ini sudah merupakan sikap abai terhadap anak.
Contoh lain ketika ada rapat terjadwal dan Fatih ingin main. Jika saya belum siap, terkadang saya ‘buru-buru’ menitipkan Fatih pada suami/anggota keluarga lain.
Meski sudah memberi penjelasan, sekali dua kali Fatih akan menangis dan berpegangan erat pada saya. Jika hal itu terjadi, demi tepat waktu, tentu saya memutuskan untuk melepaskan genggaman tangannya yang kuat.
Ilustrasi anak yang depresi (sumber : suara.com) |
Saya sadar bahwa jika terlalu sering, hal ini bisa menimbulkan luka di hati Fatih. Saya sedih karena sadar akan dampak yang mungkin saja bisa muncul pada Fatih kelak.
Perasaan “diabaikan” merupakan salah satu penyebab seseorang memiliki trauma masa kecil atau adverse childhood experiences (ACEs). Parahnya, akibat trauma ini bisa melekat pada anak seumur hidupnya. Astaghfirullah.
Pengabaian dari orang tua memang bukan satu-satunya penyebab seorang anak memiliki trauma masa kecil. Sebagaimana dilansir dari ibupedia.com, KDRT, kecelakaan hebat, ditinggalkan orang yang disayangi, kekerasan seksual, bullying, perceraian orang tua, kondisi sosial ekonomi yang buruk, dan semacamnya juga bisa menyebabkan trauma masa kecil.
Hal-hal tersebut merujuk pada Centers for Desease Control and Prevention yang menyebutkan bahwa trauma masa kecil muncul karena kejadian traumatis dan menyakitkan di masa lalu, saat anak berusia 0-17 tahun.
Sebagai orang tua, tentu saya tidak ingin anak saya memiliki trauma masa kecil. Terlebih di 1000 hari pertama kehidupannya (1000 HPK), yaitu masa sejak dalam kandungan hingga usia 2 tahun.
Pada masa ini, perkembangan otak anak sedang pesat sekali. Bahkan, 80% pertumbuhan otak manusia terbentuk di masa ini. Maka, jika terjadi ‘gangguan’ di masa-masa kritis tumbuh kembang anak, tentu dampaknya akan lebih fatal.
Tanda Psikologis
1. Ketidakstabilan emosi atau mood swing. Mood swing adalah perubahan suasana hati yang cepat dan drastis. Umumnya terjadi bila ada pemicu. Misal, ketika ada remaja membaca sebuah komentar yang tak mengenakkan tentang dirinya, maka secara cepat ia akan meledak-ledak dalam menanggapinya.
Sumber gambar : kalapa-clinic.com |
2. Depresi dan putus asa. Hal ini tentu saja karena trauma masa kecil dapat menyebabkan seorang anak merasa bahwa dirinya tak berharga sehingga ia pun depresi dan putus asa. Beberapa bahkan ada yang menyebabkan anak berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya.
3. Pasif dan bersikap dingin (tidak menunjukkan perasaan tertentu). Hal ini biasanya dilakukan akibat trauma kehilangan atau ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintai semasa kecil.
4. Minder. Bullying, pengabaian, kekerasan seksual, kondisi ekonomi yang buruk bisa membuat seorang anak tumbuh dengan rasa kurang percaya diri. Akibatnya mereka cenderung menarik diri dari pergaulan, tidak punya motivasi dan menjalani pola hidup yang itu-itu saja.
5. Trust issues atau krisis kepercayaan. Trauma masa kecil terutama yang disebabkan oleh orang-orang terdekat akan membuat anak sulit mempercayai orang lain. Mereka cenderung berpikir “Kalau orang terdekat saja bisa menyakiti saya, apalagi orang yang tidak kenal saya dengan baik?”. Oleh karena itu, anak dengan trauma masa kecil biasanya memilih untuk tidak memercayai siapa pun.
Upaya Mencegah Trauma Masa Kecil
Berikut adalah beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah anak mengalami trauma masa kecil (sebagaimana ditulis oleh Kristal di laman ibupedia.com) :
1. Jadi support system yang baik
Dalam hal ini yang bisa kita lakukan adalah mendengarkan apa pun yang anak bicarakan. Usahakan berada di sisi anak terutama ketika anak sedang panik. Hindari menyalahkan anak atas hal buruk yang telah terjadi.
Menulis poin ini sungguh tak sampai satu menit. Namun praktiknya, bukanlah hal yang mudah bagi saya. Jika saja ada pil kesabaran, mungkin kita harus menelannya setiap hari agar mampu menjadi support system terbaik.
Namun, tak mudah bukan berarti tak mungkin dilakukan. Maka, mari tetap ikhtiar dengan diiringi doa. Semoga kita bisa menjadi orang tua dan sahabat terbaik untuk anak-anak kita.
2. Bangun hubungan yang harmonis
Hubungan harmonis di sini lebih kepada seluruh anggota keluarga. Terutama ayah dan ibu. Pertengkaran kecil yang sering terjadi di hadapan anak bisa berdampak negatif pada kondisi psikisnya. Oleh karena itu, sebisa mungkin mari tidak bertengkar di hadapan anak. Bahkan jika bisa sama sekali tak perlu bertengkar.
Tunjukkan pada anak, bahwa ia tumbuh dalam keluarga yang harmonis (Dokpri) |
Semakin harmonis suatu keluarga, insya Allah akan semakin baik untuk perkembangan anak. Ketika anak tahu ia dikelilingi oleh orang-orang yang saling sayang dan menyayanginya, maka anak dapat tumbuh dengan self-esteem (harga diri) yang lebih tinggi.
Terkait hal ini, meski sesekali ditelan kesibukan, namun saya selalu menyempatkan mencium dan memeluk Fatih setiap hari. Hal ini untuk menunjukkan pada Fatih, bahwa saya sangat menyayanginya.
3. Usahakan kestabilan finansial
Dalam ibupedia.com disebutkan meski tidak terlihat langsung, bukan berarti dampak akibat kondisi ekonomi yang tidak ideal tak terjadi ya.
Melihat orang tua yang terlilit hutang misalnya, bisa memunculkan beban mental bagi anak. Hal ini tentu bisa membuat anak stres. Oleh karena itu, mari usahakan memiliki kestabilan finansial.
Menurut saya, stabil secara finansial tak harus kaya. Namun, bagaimana kita mampu mengatur keuangan agar berbagai kebutuhan tercukupi dengan baik. Bisa membedakan kebutuhan dan keinginan adalah salah satu kunci dalam mengatur keuangan.
4. Ajari anak mengelola emosinya
“Jangan nangis dong, kan sudah besar!” Aha, pernah berkata demikian pada anak? Ternyata kalimat tersebut merupakan contoh pengabaian terhadap emosi anak. Itulah mengapa, jika Fatih sedang menangis, saya lebih sering diam atau mengalihkannya pada hal lain namun tidak segera.
Bila sudah reda, saya akan bertanya, “Fatih kenapa nangis? Sakit karena jatuh, ya?” Pertanyaan seperti ini mampu membuat anak sadar dengan emosi yang mereka rasakan. Apakah mereka menangis karena sakit, marah, takut, dsb.
Bukankah bahasa awal bayi memang menangis? Lapar, haus, marah, takut, dll bisa diekspresikan dengan menangis. Oleh karena itu, kita harus membantu anak mengenali dan mengelola emosinya.
Jika sebentar-sebentar melarang anak menangis, bukan tidak mungkin anak memilih untuk memendam apa pun yang ia rasakan. Berbahaya bukan, jika emosi yang bertumpuk-tumpuk ini suatu saat meledak?
5. Terapkan pola pengasuhan terbaik
Pola pengasuhan terbaik tak melulu harus berkaitan dengan materi. Mendampingi anak ketika bermain atau membaca buku pun bisa menjadi pola asuh yang baik.
Tak sekedar mendampingi, cobalah sesekali untuk ikut bermain. Lupakan sejenak jabatan di kantor dan kembalilah menjadi anak-anak dengan bermain bersama anak kita.
Bermain petak umpet (dokpri) |
Nah, kalau yang sudah saya lakukan misalnya saya ikut bermain petak umpet bersama Fatih. Ia terkadang pergi ke balik tirai, kursi, tiang dan sebagainya untuk bersembunyi. Jika sudah begitu, biasanya saya pura-pura mencari sambil berkata, “Fatih mana, yaa … ?”
Kemudian keseruan terjadi saat saya berhasil menemukan Fatih. Haha, biasanya Fatih akan tertawa gembira. Syukurlah. Sungguh, bahagia itu tak perlu mahal.
Parents, sudah sejauh mana usaha Anda agar anak terhindar dari trauma masa kecil? Yuk berbagi kisah dengan menuliskan di kolom komentar.
Semoga bermanfaat ….
semoga anak anak kita menajdi anak anak yg sholeh dan sholekhah dan menjadi anak yang berbakti kepada orang tua di masa tua.
BalasHapusAamiin aamiin aamiin 🤲🏻
HapusKeren Bu Diita,memang seyogyanya begitu, karena menjadi orang tua tdk ada sekolahannya.artinya kita harus terus belajar, memperbaiki diri.Terkadang sudah tahu ilmunya juga, masih sja lupa,namun sya tak segan2 untuk minta maaf.Mungkin karena kurang ilmunya juga, jdi sekarang bnyak beristigfar sja. Hee
BalasHapusAlhamdulillah, Bu. Betul. Ditta pun jika melakukan kesalahan, langsung meminta maaf ke Fatih. Hehe, anak seusia Fatih kan udah bisa ngambek juga. Usai minta maaf, biasanya saya minta sun sama Fatih. Kalo Fatih dah maafin, alhamdulillah suka mau sun kening. 😊
HapusTerima kasih bu Dita untuk mengingatkan kami menjadi orang tua yang lebih baik
BalasHapusSama-sama, Bun. Tulisan ini pun jadi pengingat bagi saya 😊
HapusAduh, mungkin kalo dihitung bnyk banget kesalahan yg tdk terasa sudah sy lakukan terhadap ke- 4 anak saya. Astagfirullaah.. resikonya jd wanita karir bnyk abai terhadap anak sendiri..
BalasHapusSetiap pilihan memiliki konsekuensi ya, Ambu. Kita tak mungkin mengulang masa lalu, jadi mari lakukan yang terbaik saat ini untuk esok yang lebih baik. Semangat Ambu.
HapusMeski sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk anak, sesekali masih juga terdapat kesalahan dalam mendidik anak. Terimakasih Bu Ditta masukan yang sangat bermanfaat. Semoga saya bisa selalu menerapkan dalam mendidik putra putri saya...🙏🙏
BalasHapusAamiin 🤲🏻
HapusBetul Pak Iroen. Tak ada orang tua yang sempurna. Tapi, orang tua yang baik akan selalu belajar memperbaiki pola asuhnya. Belajar lagi ilmu parenting. Belajar untuk lebih memahami anak.
Karena setiap anak istimewa, maka kita patut memberi mereka yang terbaik semampu kita.
Terima kasih atas komentarnya 🙏🏻
Wah benar sekali bun. Paparan psikologinya lengkap. Berbicara trauma ank umumnya dtg dr rmh. Saya mengalaminya. Akan tetapi sebaik baik psikiater adalah ibu. Ke pd an sy tergali dr seorang ibu. Maka benarlah firman Allah bahwa rahim (sayang) yg diberikan pd wanita adlh untuk melindungi menyatangi dan mendidik ank2nya. Sesibuk apapun kita ibu hrs pny wkt u ank dan sekecil apapun ksmptn itu
BalasHapusBetul, Mam. Sepakat bahwa sebaik-baik psikiater adalah ibu. Dari kisah Bu Yenny, Ditta belajar banyak hal. Terima kasih telah berbagi kisah yang luar biasa melalui tulisan-tulisan di blog ibu 🙏🏻
HapusSuasana pandemi seperti sekarang ini, memang interaksi antara orang tua dan anak di rumah mestinya bisa lebih banyak. Namun, kondisi psikologis orang tua belum tentu seperti itu. Apalagi jika menyangkut ekonomi atau pekerjaan orang tua. Bahkan, pekerjaan atau usaha orang tua yang mengalami efek dari pandemi, tentulah bisa membuat orang tua tergoncang.
BalasHapusMendidik anak memang berat, tetapi di situlah tantangannya. Kalau memang berat, kenapa dulu dibikin? Hehe...
Teori mudah, praktiknya tidak mudah. Solusinya, belajar dan berdoa kepada Allah, agar bisa dikuatkan dan diberikan kesabaran.
Betul, Pak. Sepakat bahwa kedekatan interaksi dan psikologis bisa saja berbeda. Saat pandemi, ada anak yang meninggal karena orang tua stres mengajari anak belajar. Ada juga yang orang tua bunuh diri dan anak karena faktor ekonomi. Miris.
HapusTerima kasih atas solusinya. Semoga kita bisa menjadi sebaik-baik orang tua.
Nuhun Neng Ditta, juga komen dari bp ibu semua, terasa mengingatkan sy,udh banyak abai yg kita lakukan, maafkan ibu Nak. Sy ingat anak ke 3 sy wkt dititip ke yang mengasuh nangis meronta, sekarang sudah menginjak dewasa, memang cenderung pemalu.Belum lagi klo sering keras klo mengingatkan sesuatu.Sekarangpun sy sering minta maaf. Semoga tetap menjadi insan yg kuat dan berakhlak mulia Nak...🤲🤲🙏
BalasHapusAamiin 🤲🏻
HapusTerima kasih kembali Bu Prapti 🙏🏻 terima kasih telah berbagi kisah dalam merawat anak. Tentu ini pelajaran berharga bagi kami, para orang tua terlebih yang anaknya masih kecil.
Doa seorang ibu tiada terhalang oleh apa pun. Semoga Allah berkenan mewujudkannya 🤲🏻
Jadi ingat sama anak2 di rumah bu😭. Semoga kita khususnya para wanita yg triple job. Baik di rumah (sbg istri dan ibu), di sekolah sbg orang tua kedua anak didik bisa menjadi teladan dan memberikan yg terbaik untuk mereka.. terlebih sebelum ajal dtg menjemput. Yg nantinya bisa kita pertanggungkn.🤲🤲
BalasHapusAamiin aamiin aamiin 🤲🏻
HapusIya Bu Latifah. Mari, tetap semangat menjalankan semua amanah kita 👍🏻