Sabtu, 6 Februari 2021 saya mendapat materi pertama tentang teknik menulis resensi. Materi ini saya dapatkan melalui WhatsApp group (WAG) Teknik Menulis Resensi dimana pematerinya adalah Doddi Ahmad Fauzi, pengelola penerbit SituSeni.
Sebetulnya teknik "standar" meresensi yang umum, mudah kita jumpai. Untuk meresensi buku misalnya, cukup menuliskan identitas buku, sinopsis, kelebihan dan kekurangan. Namun, jika pembicaranya adalah King Doddi, tentu akan menjadi hal yang menarik. Latar belakangnya yang seorang wartawan serta pengalaman dalam menerbitkan berbagai karya, tentu akan menyuguhkan makna resensi dari kacamata yang berbeda.
Penulis buku "Menghidupkan Ruh Puisi" ini, pada 2004 pernah membaca puisi dan menjadi pemakalah seminar tentang kondisi sosial-politik Indonesia di Moscow Government University, serta jadi pemateri diskusi proses kreatif di St. Petersburg University, Rusia. Wow!
Saya sendiri mengenal beliau dari salah satu kegiatan pelatihan menulis di Kabupaten Subang pada tahun 2019. Baru bisa bertatap muka saat Prosesi Purna Parasamya Aksara Nugraha (sebuah ajang penghargaan bagi guru dan pelajar penulis Jawa Barat serta penggerak literasi). Kegiatan tersebut diadakan di Ciater, Subang, pada tahun 2020.
"Semoga kelas ini dapat memberikan secercah harapan, sehingga selalu membawa kita semangat dalam menjalani hari-hari dengan belajar. Salah satu tugas dalam hidup adalah belajar, setelah ibadat wajib kepada Tuhan dan ibadat sosial (hablu minnalloh dan hablum-minnas).
Barangsiapa yang sudah berhenti naluri belajarnya, berarti hidupnya telah selesai, seperti digambarkan dalam peribahasa "hidup segan mati tak hendak". Belajar apa? Ya belajar apapun, pokoknya belajar untuk hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas diri, termasuk belajar meresensi." Begitu kalimat pembuka eks wartawan seni budaya di koran Media Indonesia (1998-2005) ini.
Berdasarkan pengalaman kewartawanannya di berbagai media (1998-2013), King Doddi lalu memaparkan apa itu resensi dan kerangka kerja seorang resensator sebagaimana berikut :
Lema ‘resensi’ berasal dari bahasa Belanda ‘resentie’, dan bahasa Latin ‘recensio’, ‘recensere’ atau ‘revidere’, yang artinya mengulas kembali. Dalam bahasa Inggris, istilah resensi menggunakan kata ‘review’ yang artinya meninjau ulang. Dalam bahasa Indonesia, makna resensi tidak bergeser dari makna dalam bahasa Belanda.
Intinya, meresensi adalah meninjau sebuah karya, yang bisa berupa tulisan, musik, seni rupa, film, makanan, fesyen, dll (Nah, ini saya baru tahu. Saya pikir resensi itu hanya untuk buku atau film). Namun dalam praktiknya, istilah resensi lebih sering digunakan untuk meninjau karya tulis yang sudah dibukukan.
Menurut sastrawan yang pernah membaca puisi di Athena, Yunani, untuk memperingati seabad Olimpiade Modern (2003) tersebut, setidaknya ada 6 kerangka kerja seorang resensator atau reviewer, yaitu :
Untuk membedakan penilaian di poin 3.c dan poin nomor 6, King Doddi memisalkan dengan buku puisi. Dalam meresensi buku puisi, isi puisinya bisa dikaji dengan teori perpuisian (poin 3c), tapi bukunya, bisa dinilai berdasarkan tampilannya, desain cover-nya, reputasi penulisnya, bahkan jenis huruf yang digunakan, cocok atau kurang cocok (poin 6).
Jadi, ada dua substansi yang dinilai dari buku, yaitu jiwa (isi buku) dan raga (tampilan buku). Isi buku sebaiknya dinilai berdasarkan teori yang membahas tentang isi buku itu, sedangkan raga buku itu menyangkut tampilan fisik, misalnya dari cara penggunaan kalimat dan jenis huruf.
Resensi yang komprehensif (lengkap), memang menganalisis suatu sajian, dengan membaca sekian teori atau referensi. Karya A disebut baik, nah baiknya itu menurut apa, apa patokan disebut baik, dll. Jadi, resensator memang sebaiknya membaca buku teori. Tak cukup hanya dengan memberi like atau berkomentar bagus, luar biasa dan mantap.
Pertemuan pertama masih membahas pendahuluan mengenai resensi. Sebelum dilanjut ke sesi diskusi, beliau mengingatkan kepada peserta bahwa apa-apa yang ia paparkan, bukanlah satu-satunya metode meresensi, apalagi disebut sebagai yang terbenar. Sebab kebenaran hasil karya olah pikir manusia, bersifat alternatif.
"Namun paparan saya, bukan diberangkatkan dari kutipan pendapat orang lain, melainkan dari pengalaman yang saya jalani. Saya mempercayai pendapat filsuf Italia Umberto Echo, bahwa teori terbaik ialah yang dipungut dari pengalaman sendiri di lapangan, dibahasakan dengan bahasa sendiri." lanjut King DAF (sapaan lain dari King Doddi)
Di sesi diskusi, ada yang bertanya terkait pembatasan kata dalam meresensi. King Doddi lalu menjelaskan bahwa untuk di media massa cetak, ada ketentuan jumlah kata atau karakter, karena keterbatasan ruang pemuatan. Tapi bila dimuat dalam internet, atau dijadikan buku, itu nyaris pembatasannya bukan dari jumlah kata atau karakter, tapi dari sisi efektivitasnya. Buat apa menulis panjang-panjang, jika tidak menunjang dan hanya mendayu-dayu?
Selain itu, King DAF juga menyampaikan bahwa tradisi diskusi tekstual kita amat lemah. Di luar negeri, misal si A menulis buku tentang cincau. Si B tidak setuju, maka si B akan menulis buku yang salah satu isinya mengungkapkan pendapatnya yang bertentangan dengan A. Di luar negeri, perdebatan atau saling berbantahan melalui karya sudah menjadi hal biasa. Wah, hebat ya? Dari berbeda pendapat saja, bisa menghasilkan karya. Bagaimana dengan negara kita?
Bu Siska yang berperan sebagai moderator menyampaikan bahwa banyak yang berpikir resensi sebatas mengangkat kelebihan suatu karya. Ketika ada kritikan, masyarakat kita cenderung alergi. Inilah kenapa penilaian karya menjadi manis yang berbasa-basi tanpa mengungkapkan kekurangan sebuah karya. Ini juga yang menyebakan keilmuan tentang kritik, menjadi lambat berkembang di Indonesia.
Di negara yang bisa dikatakan anti-kritik, cukup sulit memang mendapati orang yang mau berkata jujur dengan penilaiannya. Banyak orang yang lebih siap mengkritik daripada dikritik. Namun, saya kagum dengan salah seorang guru yang kisahnya disampaikan oleh King DAF.
Di grup Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia (AGBSI) kenang King DAF, pernah ada penulis puisi dari Aceh, share ke grup, dan anggota lainnya memuji dan memuji, tapi menurut King Doddi, pujiannya tidak berdasarkan pada argumentasi dan teori. Akhirnya beliau pun berkomentar, dan menguraikan ketidaktepatan nalar dalam puisi tersebut. Ada kira-kira tiga judul yang dianalisis. Hal itu membuat para pemuji jadi diam.
Lantas apa yang saya kagumi dari kisah tersebut? King Doddi melanjutkan bahwa guru dari Aceh itu menjapri beliau dan mengucapkan terima kasih karena telah membukakan cara pandang dan menilai puisi. Waaah ... ini nih penulis sejati! Tetap berlapang dada bahkan berterima kasih saat menerima kritik yang membangun.
"Kritik itu syaratnya objektif, meskipun terkadang dalam praktiknya tampak bias. Di Indonesia itu sedari dulu kebanyakan anti-kritik, itu sebabnya Indonesia kurang berkembang, atau tetap menjadi bangsa yang sedang berkembang, disebabkan tradisi kita cukup banyak yang anti-kritik. Tugas kritik itu bukan menjelek-jelekkan atau memuji tanpa dasar, tapi melihat dan menilai sebuah objek dengan pendekatan teoretik." Jelas King Doddi.
Resensi itu salah satu metode dari diskursus (diskusi wacana). Karya resensi menurut King Doddi bahkan wajib (kalau mampu) menunjukan kesalah-kesalahan data, fakta, atau kesimpulan dari sebuah karya. Merensi bisa ada tahapannya, sebagaimana mengeritik. Tugas resensator di dalamnya mengemban tugas mengeritik.
Bedanya di mana? Mengeritik itu tidak memberikan penilaian baik dan tidak baik, namun tepat dan tidak tepat berdasarkan teori yang digunakan sebagai rujukan. Nah, kalau resensi itu lebih luas dari kritik, sebab memberikan penilaian baik dan tidak baik, bukan hanya berdasarkan teori, tapi sangat mungkin berdasarkan norma, termasuk undang-undang.
King Doddi lalu menyampaikan contoh perbedaan mengeritik dan meresensi. Katakanlah seseorang mengeritik cerita karya Nick Calter dengan teori struktural tulisan, dan ia menyebut karya Nick Calter sesuai dengan teori struktur. Tapi saat meresensi, ia menilai karya Nick Calter memang bagus penyajiannya, namun isinya tidak layak diberikan kepada siswa, disebabkan bla bla bla.
Paparan dari eks wartawan senior di Koran Jurnal Nasional (2006-2011), serta Dewan Redaksi pada majalah pertahanan dan keamanan ‘Tapal Batas’ (2011-2013) ini masih akan berlangsung hingga tanggal 10 Februari mendatang. Semoga saya tetap bisa menyimak dan membuat tulisan untuk mengikat ilmunya.
Bagi saya, beliau (King Doddi) termasuk salah satu orang yang sangat kritis terhadap suatu karya. Hihih, saya sendiri sadar betapa jelasnya perbedaan kami dari segi kualitas menulis sastra. Saya masih harus terus mengasah kemampuan menulis (terutama di bidang sastra tentunya). Suatu kehormatan tersendiri bila suatu hari karya saya bisa dikritisi oleh beliau. Semoga.
Keren.
BalasHapusYang keren yang ngasih materinya ya Pak. Hehe ... Terima kasih sudah berkunjung 🙏🏻
HapusTerima kasih utk sharingnya, Bu Ditta. Saya ingin sekali membuat resensi buku. Namun, kadang sy terjebak pada penilaiannya. Smg suatu saat sy berani menulis resensi dan bahkan buku karya saya juga diresensi oleh orang lain.
BalasHapusAamiin. Betul Bu Tere, saya pun terkadang berpikir apakah saat membuat resensi sudah baik atau belum. Hee. Terima kasih sudah berkunjung.
HapusTerimakasih sharing infromasinya Bu Ditta...
BalasHapusSama sama Bu. Terima kasih juga sudah berkunjung 😊
HapusResensi dong
BalasHapusWahana belum berani kalo meresensi yang Pak Yulius. Tapi pastinya keren ya 😁
HapusApakah penulis harus sekaligus bisa meresensi ya, Bu?
BalasHapusKalau menurut saya pribadi, jawabannya tidak. Meskipun pada kenyataannya disadari atau tidak, seorang penulis pun sering melakukan resensi walau tak tertuang dalam bentuk tulisan.
HapusSilakan tengok kembali pengertian resensi di postingan ini. Usai menulis, tentu si penulis bisa mengulas kembali (minimal) hasil karyanya sendiri. Baik dan kurangnya. Hehe. Meresensi singkat dan simple. 😁
Terima kasih sudah berkunjung.